Popular Posts

Isnin, 15 Ogos 2011

LAILATUL QADAR : SEBUAH KEPULANGAN...



Para malaikat turun menaburkan kasih sayang Ilahi dan menyampaikan salam kepada kaum beriman sampai terbit fajar…

Lailatul Qadar sangat istimewa, bukan kerana ibadat di malam itu mempunyai nilai yang sama dengan ibadat seribu bulan. Malam Qadar istimewa kerana di situ Allah membebaskan tengkuk-tengkuk hambanya dari hukuman Allah. Lailatul Qadar ertinya Malam Keagungan, the night of Glory ! Keagungan Allah ditampakkan dalam maaf-Nya, dalam kasih sayang-Nya. Kerana itu, jika malam-malam yang lain adalah waktu bagi para kekasih Allah, Lailatul Qadar adalah malam bagi musuh-musuh-Nya; malam untuk para pendosa.

Di langit, ketika para malaikat melihat Kitab catatan amal manusia, mereka terpesona dengan amal yang hanya khusus dilakukan penduduk Bumi. Malaikat pun tidak ada yang dapat menirunya. Salah satu di antara amal itu adalah rintihan para pendosa. Allah berfirman, ‘’Aku lebih suka mendengarkan rintihan para pendosa berbanding gemuruh suara tasbih. Gemuruh suara tasbih menyentuh kebesaran Kami, sedangkan rintihan para pendosa menyentuh kasih sayang Kami.'’

Maka, malam itu, dengan deraian air mata, musuh-musuh Allah itu menundukkan punggungnya di hadapan pintu-Nya, “Wahai Robb ku, para pengemis telah singgah di hadapan pintu Mu. Orang-orang fakir telah rebah memohon perlindungan Mu. Perahu orang-orang miskin telah berlabuh pada tepian lautan kebaikan dan kemurahan Mu, berharap untuk sampai ke halaman kasih dan anugerah Mu. Robb ku, jika pada bulan yang mulia ini, Engkau hanya menyayangi orang-orang yang mengikhlaskan puasa dan solat malamnya, maka siapa lagi yang menyayangi pendosa tercela yang tenggelam dalam dosa dan kemaksiatannya…”

“Ya Allah, jika Engkau hanya mengasihi orang-orang yang mentaati Mu, siapa yang akan mengasihi para penentang Mu. Ya Allah, jika Engkau hanya menerima orang-orang yang tekun beramal, maka siapa yang akan menerima orang-orang yang malas. Ya Allah, beruntunglah orang-orang yang berpuasa dengan sebenar-benarnya. Berbahagialah orang-orang yang solat malam sebaik-baiknya. Selamatlah orang-orang yang beragama dengan tulus. Sedangkan kami adalah hamba-hamba Mu yang hanya berbuat dosa. Sayangilah kami dengan kasih Mu. Bebaskan kami dari api neraka dengan ampunan Mu. Ampunilah dosa-dosa kami dengan kasih-sayang Mu. Wahai yang Paling Penyayang dari semua yang menyayangi…Amin Ya Allah !”


doa yang kita panjatkan di atas itu adalah doa mereka yang telah rebah di depan pintu Allah, iaitu orang yang sudah meruntuhkan seluruh keegoannya.

Pada suatu hari, para sahabat memperbincangkan tentang rakannya yang sangat soleh di hadapan Nabi Muhammad saw. Nabi saw tidak memberikan komen sedikit pun, padahal ia adalah manusia yang senang memuji kebaikan orang, walau  betapa kecilnya amal tersebut. Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu muncul. Mereka semua berkata, ‘’Inilah orang yang kami bicarakan, wahai Rasul Allah.'’ Nabi saw yang mulia berkata, “Tetapi aku melihat bekas usapan syaitan di wajahnya.”

Orang itu mengucapkan salam, kemudian duduk di majlis Nabi saw. Baginda saw mendekatinya dan bertanya, “Adakah setiap kali kamu masuk ke dalam kumpulan orang, kamu merasa bahawa kamulah yang paling baik di antara mereka?” Ia menjawab, “Benar.”

Tidak lama kemudian, ia bangkit dan pergi solat ke masjid. Nabi saw berkata, “Siapa yang akan membunuh orang itu?” Abu Bakar ra menyatakan kesediaannya. Beberapa saat kemudian, Abu Bakar ra kembali dan berkata, “Bagaimana mungkin saya membunuhnya. Ia sedang solat dengan rukuk yang sangat khusyuk”. Ketika Rasulullah saw mengulangi pertanyaannya, Umar ra berdiri menuju orang itu. Ia juga kembali dengan mengajukan keberatan, “Tidak mungkin saya membunuhnya. Ia sedang meratakan dahinya di atas tanah, bersujud dengan sangat tekun.”

Kali yang terakhir adalah giliran Ali kwh. Ia bertekad untuk membunuhnya dalam keadaan apa pun. Tetapi ia kembali, masih dengan pedang yang bersih. Ia melaporkan bahawa orang itu sudah tidak berada lagi di masjid. Nabi bersabda, “Jika kalian membunuh dia, umatku tidak akan terpecah selepas ini.'’

Kisah ini, yang diriwayatkan dalam Musnad Ahmad, lebih merupakan pengajaran untuk difahami dalam makna harfiahnya. Hadis ini tidak mengajarkan kepada kita untuk membunuh orang yang solat. Nabi saw mengajarkan umatnya untuk tidak mudah terpesona dengan tontonan kesolehan. Kita tidak akan menjadi orang soleh selama diri kita merasa menjadi orang yang paling soleh. Kita bukan orang yang benar selama kita merasa menjadi orang yang paling benar. Beragama bukan show business. Tidak untuk mendabikkan dada di hadapan orang ramai. KESOLEHAN YANG SEJATI ADALAH KERENDAHAN HATI…

“Bersujudlah dan dekatkan dirimu kepada-Ku”. Kesolehan tidak berasal dari penilaian orang luar. Ia berasal dari kedalaman hati. Ia muncul sebagai perasaan betapa rendahnya ia dibandingkan dengan orang lain. Allah berfirman, “Bersujudlah dan dekatkan dirimu kepada Ku.” (QS Al Alaq:19)

Untuk menjelaskan firman Allah ini, Jalaluddin Rumi bercerita, alkisah, pada tepian sebuah sungai, terdapat dinding yang tinggi. Di atas benteng itu terbaring seseorang yang tengah menderita kerana kehausan. Tembok itu menghalangi dia untuk mendapatkan air yang ia rindukan seperti rindunya seekor ikan akan air lautan.

Dengan susah payah, ia lalu melemparkan pecahan batu kerikil dari tembok itu ke dalam air. Suara percikan air yang tertimpa kerikil terdengar di telinganya seperti suara seorang sahabat yang indah dan lembut. Ia begitu bahagia mendengar suara percikan air itu. Kerana bahagianya, ia mulai merobohkan batu bata benteng itu satu per satu. Suara gemercik air di bawah seakan berkata kepadanya, “Apa yang kau lakukan?” Lelaki yang kehausan menjawab, “Aku memperoleh dua hal dan aku tidak akan pernah berhenti melakukannya. Pertama, aku ingin mendengar bunyi gemercik air. Suara percikan air bagi orang yang kehausan sama seperti suara terompet Israfil yang membangunkan kehidupan bagi orang mati; sama seperti bunyi hujan yang membuat kebun subur dengan segala kemegahannya; sama seperti hari-hari sedekah bagi seorang pengemis; atau sama seperti berita kebebasan bagi seorang tawanan.”

“Kedua, setiap kali aku merobohkan bebatuan benteng dan melemparkannya ke bawah, aku menjadi lebih dekat dengan air yang mengalir. Setiap bongkah tembok yang aku jatuhkan membuat benteng ini menjadi lebih rendah. Menghancurkan dinding pemisah ini akan membawaku kepada kesatuan.” “Meruntuhkan benteng pemisah adalah makna dari bersujud. Bukankah Allah berkata, bersujudlah dan dekatkanlah dirimu kepada-Ku. Selama tembok itu berdiri tegak, sepanjang itulah tegak penghalang yang menyebabkan orang tidak mampu menundukkan kepalanya di dalam solat. Engkau tidak akan pernah mampu benar-benar bersujud kepada Air Kehidupan selama engkau belum membebaskan dirimu dari tubuh fizikalmu.” “Makin haus orang yang berada di atas benteng, makin cepat pulalah ia meruntuhkan bebatuan. Makin besar cintanya kepada suara gemercik air, makin banyak pulalah bongkahan batu bata yang ia runtuhkan….”

Dalam lanjutan kisah ini, Rumi bercerita, orang yang kehausan itu kini telah berhasil meruntuhkan seluruh tembok pemisah. Ia telah dekat dengan sungai yang mengalir. Namun, ia merasa malu kerana seluruh tubuhnya kotor berdebu, sementara air itu begitu bersih, jernih dan suci. Sungai itu lalu bertanya, “Bukankah kau telah berusaha keras untuk merobohkan bebatuan. Sekarang setelah kau dekat denganku, mengapa kau tak mahu menghampiriku?” Lelaki itu menjawab, “Tidak mungkin bibirku yang kotor aku tempelkan kepada air yang begitu suci.” Sungai itu berkata lagi, “Tanpa airku, mana mungkin kau membersihkan dirimu.” Rumi mengajarkan kepada kita bahawa Air Kehidupan tidak akan mampu didekati tanpa bersujud. Tembok-tembok yang menghalangi kita untuk dekat kepada Allah adalah tembok keangkuhan dan kesombongan kita. Selama kita masih sombong, kita tidak akan pernah mampu untuk mendekati Dia. Sujud adalah lambang kerendahan diri. Semakin seseorang merendahkan dirinya, makin dekat pula ia dengan Yang Maha Tinggi.

Oleh kerana itu, Rasulullah saw pernah bersabda, “Saat ketika seorang hamba paling dekat dengan Allah adalah saat ketika ia tengah bersujud.” Ketika ia bersujud, ia menempatkan kepalanya yang menjadi lambang keakuannya pada tempat yang serendah-rendahnya. Bahkan dalam solat, kita di sunatkan agar merebahkan kepala kita di atas tanah, yang dari situ kita diciptakan dan ke tanah pula kita dikembalikan.

Sujud adalah gambaran perendahan diri kita yang serendah-rendahnya agar kita dekat dengan Allah swt. Selama kita masih membina tembok keangkuhan, kita tidak akan mampu mendekati-Nya. Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan pernah masuk syurga orang yang memiliki perasaan takabur di dalam hatinya walaupun sebesar debu.”

Para sufi tidak menggambarkan syurga sebagai tempat yang di aliri sungai susu dan khamar, penuh dengan buah-buahan yang ranum dan para bidadari rupawan. Mereka menganggap gambaran seperti itu hanya perlambangan sahaja. Menurut para sufi, hal yang paling indah dari syurga adalah pertemuan dengan Allah swt; persatuan dengan Allah yang penuh kasih. Ini tidak akan dapat dicapai apabila masih ada satu titik keangkuhan, sebesar biji sawi pun. Akhirnya, yang mendapat Lailatul Qadar adalah para perintih pilu yang datang ke hadapan Allah dengan segala kehinaan dirinya…
Wallahu`alam.
Jagalah Hati…

Wassalam.


Tiada ulasan:

Catat Ulasan