Seorang ibu sedang sarat mengandung. Ia sedang berjalan tertatih tatih di sebuah jalan kerana terbeban oleh kandungannya yang sudah sarat. Ke mana pun ia melangkahkan kakinya, ia dibebani oleh kandungannya, di jalanan, dirumah, berdiri, duduk bahkan tidur pun ia selalu terganggu oleh perutnya. Hanya satu harapan yang selalu menghiburnya siang dan malam, "Aku akan mendapatkan seorang anak yang akan menjadi kebanggaanku kelak". Tidak ada seorang ibu yang tidak bercita-cita seperti ini…
Ia pun terus bersabar menahan segala penderitaan yang menimpanya, hingga saat-saat melahirkan pun tiba.
Malam itu hujan turun dengan lebatnya, Si ibu merasakan bahawa kandungannya akan lahir malam ini juga. Lalu dikhabarkan pada si suami. Tanpa berlengah, si suami pun berlari di kegelapan malam mencari bidan yang rumahnya agak jauh dan harus ditempuhi dengan berjalan kaki.
Tiada yang mendorongnya untuk berlari dalam lebatnya hujan ini selain ingatan demi keselamatan . bayinya. Jika si ayah harus merenangi lautan api pun, pasti akan ditempuhinya, asalkan bayinya selamat.
Si ayah pun sampai di rumah mak bidan yang sudah terlelap tidur. Si ayah memaksa mak bidan untuk menolong isterinya bersalin. Si ayah rela mengorbankan semua hartanya, asalkan mak bidan mahu menolongnya.
Bidan itu dengan perasaan terpaksa kerana dikejutkan dari lena pun mengikuti si suami ke rumahnya. Si suami ini melayani bidan lebih dari layanan seorang hamba terhadap rajanya. Ia memayungi bidan seakan-akan tidak mahu setitis pun air hujan membasahi tubuh mak bidan.
Hati si ayah dipenuhi dengan rasa cemas, bimbang mak bidan berubah fikiran untuk membatalkan niat menolong urusan bersalin isterinya. Dibiarkan tubuhnya menjadi basah kuyup oleh lebatnya hujan. Walau air hujan itu berupa batu sekalipun, ia tidak akan memperdulikannya.
Ketika mereka tiba di rumah, mak bidan pun menyiapkan segala peralatan yang diperlukan. Si ibu sudah menjerit jerit menahan sakit. Waktu dirasakan berjalan sangat lambat, Si suami yang bercucuran keringat dingin menunggu keadaan yang sangat kritikal ini, terlintas dalam fikirannya betapa indahnya jika kepedihan si isteri dapat dipindahkan kepadanya.
Tidak lama kemudian, terdengarlah tangis seorang bayi yang menjerit, memecah kesunyian malam yang baru saja reda dari hujan lebat. Selepas itu kelihatan mak bidan keluar sambil memeluk susuk bayi comel yang masih merah, sementara si ibu masih tidak sedarkan diri.
Si ayah menangis sambil memeluk bayi comelnya. Si ayah pun menghadapkan dirinya ke kiblat, lalu mendekatkan mulutnya ke telinga si bayi, "Allahu Akbar.. Allahu Akbar, Allahu Akbar.. Allahu Akbar.., Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah.., Asyhadu a Laa Ilaaha Illallah.., Asyhadu anna Muhammadurrasulullah.." Si ayah mengazankan bayinya sambil bercucuran airmata kegembiraan.
Bayi comel itu terus diasuh oleh ibunya tanpa mengenal waktu. Ibunya mengatur segala-gala demi kesihatan bayinya, mengatur waktu bayi itu dimandikan, dengan air yang tidak terlalu panas dan tidak pula terlalu sejuk, mengatur waktu agar bayi itu berjemur matahari di pagi hari, memakaikan pakaiannya, membersihkan tubuhnya, membedaknya, dan segala-galanya, lebih dari perhatiannya pada dirinya sendiri. Dengan penuh kasih sayang, sepasang suami isteri itu terus mengasuh anak mereka tanpa mengenal bosan.
Seringkali si bayi mengganggu tidur mereka, tapi itu semua tidak mengurangkan kasih sayang mereka. Mereka mengajarnya berbicara, mengenal nama-nama benda, menuntunnya berjalan, dan mengajarkannya semua perilaku kehidupan.
Si ibu sudah kehilangan waktu untuk menghias dirinya. Si ayah juga lupa waktu kerana bekerja keras untuk mencukupkan keperluan bayinya.
Anak mereka pun tumbuh semakin besar, tidaklah si ayah pergi meninggalkan rumah, pasti akan terbayang wajah riang anaknya di rumah,
Waktupun berjalan dengan pantas…..
Seorang lelaki tua terbaring di sebuah katil kayu. Ia tersengal-sengal menahan detik-detik sakratul maut. Di sampingnya, duduklah seorang pemuda berambut panjang dengan wajah yang kusam tanpa cahaya keimanan. Pemuda itu tidak tahu apa yang patut dilakukan pada ayahnya yang sudah di pintu kematian. Lelaki tua itu hanya memandang anaknya tanpa mampu berkata apa-apa. Fikirannya melayang beberapa puluh tahun yang silam, saat ia berlari-lari di tengah lebatnya hujan dalam kegelapan malam. Ia teringat ketika ia berteriak mengucapkan salam di rumah mak bidan sambil berharap mak bidan mahu membantunya. Ia teringat pada saat ia mencucurkan airmata kegembiraan dengan memeluk bayi comelnya. Ia teringat tatkala ia mendakap bayinya, lalu mengazankan si kecil, lalu menidurkan bayinya dengan senandung kasih sayang.
Kini bayi mungil itu berubah menjadi pemuda jalanan, berwajah kusam dan gelap dari cahaya hidayah seakan akan ia ingin berkata.., "Tak ku sangka… tak ku sangka.., bayi comelku yang dulu ku azankan dan ku timang akan jadi seperti ini..., aku tidak mengharapkan apa-apa darimu nak.., tapi bantulah ayah yang kini sedang di pintu kematian".
Betapa hancur dan pilunya si ayah yang harus menerima kepahitan hidup yang paling pedih.., menemui kematian dengan meninggalkan anak yang tidak mengenal keimanan. Lelaki tua itu pun menemui kematiannya dengan menyedihkan, dengan seribu kekecewaan yang terus akan menemaninya dikuburnya.
Pagi hari itu, seorang ibu setengah abad sedang duduk di beranda rumahnya, memandang kedatangan seorang pemuda berbaju melayu putih dengan sarung yang masih dibasahi air wuduk sambil membawakan sepatu ibunya dan memakaikan ke kaki si ibu, seraya mencium tangan ibunya dan berkata "saya mengaji dulu ummi". Lalu berlari terburu-buru dan hilang di kegelapan malam. Tangan si ibu masih dibasahi bekas air wuduk anaknya. Ibu itu memandang pemergian anaknya sambil termenung. Hatinya bersenandung doa, “Segala puji bagi Mu ya Allah, aku redha terhadap anakku, limpahkan kasih sayang Mu atasnya..” Tanpa disedari, si ibu itu mencucurkan airmata kegembiraan melihat keadaan anaknya..,
Maka turunlah limpahan rahmat dari yang Maha Agung terhadap pemuda itu, terhadap ibunya dan ayahnya. Mereka terus dinaungi kasih sayang Nya hingga mereka satu persatu dipanggil ke hadapan Nya.
Termasuk anak yang manakah diri kita ini wahai saudara seakidahku....?
Wallahu`alam
Jagalah Hati…
Tiada ulasan:
Catat Ulasan