Popular Posts

Sabtu, 5 Mac 2011

SAMPAIKAN WALAU SATU AYAT...


Seorang Pencari Kebenaran dengan kurniaan ilham dari Allah yang Maha Pemberi bertanya sebuah soalan pada hamba Allah lewat malam semalam di laman sosial ini.
Jawapan hamba Allah bukanlah sempurna, apatah lagi jauh dari yang terbaik. Namun, sebagaimana soalan tersebut yang di ilhamkan Allah, maka jawapannya moga mendapat bimbingan ilham dari Ilahi jua, insya Allah.
Moga kita sama-sama saling mendapat manfaat…  

SOALAN PENCARI KEBENARAN: Mengapa para sufi biasanya merahsiakan identiti dirinya dan suka memilih “murid” dalam memberikan bimbingan… Bukankah kita diwajibkan untuk menyebarkan kebaikan walau hanya 1 ayat… mengapa tidak berdakwah seperti para penceramah mahupun pendakwah atau mereka yang mengaku sebagai ulama…?

JAWAPAN HAMBA ALLAH: Sebenarnya bukanlah si sufi itu memilih-milih sesiapa untuk menjadi muridnya. Sebenarnya ia adalah antara mekanisme semulajadi alam. Contoh untuk memudahkan kita faham ialah makanan hanya bermanfaat jika diberikan kepada orang yang memang lapar. Sayang sekali jika kita, sebagai manusia, memberikan makanan kepada yang tidak memerlukannya. Mungkin makanan tersebut hanya disimpan hingga basi, atau dibuang atau juga mungkin membuat orang yang menerimanya menjadi muntah saat menjamu makanan tersebut. Padahal masih ramai lagi orang lain yang benar-benar memerlukan makanan.

Orang yang tidak lapar tentu tidak merasa perlu kepada makanan. Sebagaimana orang yang merasa sihat, tentu tidak merasa perlu untuk menemui doktor. Orang yang merasa sudah tahu agama, tentu tidak merasa perlu untuk belajar agama. Begitulah juga, orang yang tidak merasa lapar akan pengetahuan tentang Allah, tentu tidak akan merasa perlu untuk belajar tentang Allah swt.

“Sampaikanlah walau satu ayat,” memang merupakan hadis sahih Junjungan Rasulullah saw. Tetapi hakikatnya ialah, sampaikan kepada penerima yang betul, iaitu yang memang memerlukan, dan pada waktu yang tepat.

Andaikan di bumbung sebuah rumah kita pasang pembesar suara sepertimana yang biasa kita lihat di masjid-masjid dan kita melantunkan pula ceramah, pengajian dan zikrullah pada setiap pagi hingga ke petang tanpa henti demi atas nama dakwah, mungkin kita sebenarnya secara langsung telah menzalimi penghuni rumah dan jiran-jiran di sekitarnya. Siapa tahu, mungkin di sana ada bayi kecil? Orang tua yang sakit? Atau suami yang baru pulang kerja dan keletihan, sehingga gangguan bunyi dakwah tersebut membuat dirinya sensitif dan marah-marah pula pada anak isterinya.

Selain itu, pada orang-orang yang memang telah menerima tugas dari Allah Ta’ala (mengenal diri dan misinya) ada ruang lingkup dakwahnya sendiri, dan Allah sendiri yang menentukan. Tidak semua para Pencinta Kebenaran mesti menjadi penceramah dan tampil di depan masyarakat.

Ada yang memang tugasnya menjadi Rasul alam semesta (Baginda Muhammad saw), menjadi rasul bangsa tertentu saja (Musa, Isa as, dan lain-lain), menjadi mursyid untuk orang tertentu saja, yang muridnya itulah yang harus menjadi nabi (Syu’aib as). Ada yang harus menjadi panglima perang (Sa’ad bin Abi Waqqash, Khalid bin Walid). Ada yang harus menyampaikan khazanah Ilahiah melalui puisi (Jalaluddin Rumi). Ada yang harus menulis kitab (Al-Ghazali). Ada yang harus membuat buku dan menyampaikan ilmu ketuhanan yang rumit dan tidak untuk masyarakat biasa (Ibnu Arabi). Ada yang harus menjadi mursyid dengan penampilan mewah seperti sultan (Syeikh Abdul Qadir Jailani). Ada yang harus hidup penuh kesulitan, sakit kulit dan kefakiran seperti Nabi Ayub as. Ada pula yang diciptakan untuk kaya raya dan berkuasa seperti Nabi Sulaiman as.

Banyak sekali ragam tugas dan misi, demi menyampaikan dan menampilkan Khazanah Ilahiah. Oleh itu, jika seorang diciptakan sebagai, panglima perang, namun ia tampil di atas pentas dan berdakwah dengan cara klasik, ia sebenarnya telah menyalahi kehendak Allah bagi dirinya. Ia menyalahi tujuan penciptaannya.

Bukan bermakna orang-orang ini tidak berdakwah. Tapi, apa bentuknya dakwah mereka, sama ada sebagai penceramah, pelaksana dasar, pemikir, penulis, penyumbang harta atau pemimpin? Itulah yang Allah tentukan. Juga, ruang lingkupnya untuk siapa dakwah ingin disampaikan, adakah untuk umat, bangsa tertentukah, orang tertentukah, atau cukup untuk keluarga, dan mungkin hanya untuk dirinya sendiri.

Mereka yang tampil di pentas atau media dan berdakwah, atau mereka yang berserban dan berjubah, tidak bererti mereka menjadi lebih alim, lebih ulama, dan lebih soleh daripada mereka yang tidak tampil di khalayak  ramai dan berpenampilan biasa saja. Sama sekali tidak. Ukuran kesolehan dan kealiman sama sekali bukan pada penampilan lahiriyah seseorang. Dan, berdakwah untuk ribuan manusia sekaligus belum tentu lebih efektif dan lebih ‘berpahala’ (jika masih ingin membilang pahala) daripada berdakwah pada beberapa orang saja. Bukan jumlahnya, tetapi sejauh mana hati orang dapat didorong pada Khazanah Ilahiah yang ada pada diri kita. Walau hanya satu orang sahaja...

Lupakah kita pada Kalam Allah yang bermaksud, “Barangsiapa membunuh satu jiwa…maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa menghidupkan satu jiwa, ia bagaikan menghidupkan seluruh jiwa manusia.” (QS 5:32)
Menghidupkan jiwa’, secara hakikat juga bermaksud membebaskan jiwa manusia dari timbunan sifat jasadiyah dan keduniaannya sendiri.

Banyak orang-orang yang dicintai Allah tapi tidak tampil secara terbuka di khalayak untuk berdakwah, karena memang bukan itu tugasnya dilaksanakan. Dia dimudahkan pada bidang lain, tidak di bidang itu. Yang terpenting, orang-orang seperti ini tidak berdakwah hanya dengan kata-kata atau sekadar mengutip ayat. Mereka benar-benar mengerti apa yang mereka bicarakan dan lakukan. Juga, mereka berdakwah ‘bil hal’, dengan perbuatan. Tapi yang paling jelas, akhlak, perbuatan mahupun khazanah mereka semuanya dari sumber yang sama, iaitu Al-Quran, Al-Haqq dan kebenaran, walaupun mulut mereka belum tentu suka mengutip, memetik mahupun ‘berdakwah’ ayat-ayat kepada umat di depan khalayak. Wallahu`alam.

Jagalah Hati…

Semoga bermanfaat…

Tiada ulasan:

Catat Ulasan